ANOATIMES.COM™ | Raket menghantam-hantam kok, hingga berlalu-lalang diatas lapang hijau bergaris-garis putih. Setiap pukulan diarahkan melewati net, mengecoh dan sesekali menghujam tajam. Sorak-sorai penonton berpadu intonasinya, bak music background disebuah film. Riuh saat adegan sengit, dan senyap kala nampak datar.
Pemainnya bersemangat. Pasangan ganda campuran Indonesia, Liliyana/Tontowi alias Butet/Owi menggeliat bercucuran keringat. Di bidang lawan, pasangan Malaysia, Chan Peng Soon/Goh Liu Ying tak kalah liar. Begitu sengit mempertahankan lapangan permainannya dari daratan bulu angsa.
Di game pertama, Butet/Owi unggul cepat. Cegatan Butet di depan net serta smash dari Tontowi ampuh mendulang banyak poin. Hasilnya, unggul 11-4 saat interval, sebelum mengakhiri game 21-14. Game Point.

Game kedua awalnya berlangsung lebih ketat. Pasangan Malaysia memberi perlawanan sengit pada awalnya namun bak sepanas tahi ayam. Setelah interval, Owi/Butet mampu melaju dan merebut game kedua, 21-12. Match point, Indonesia menang 21-14, 21-12.
Butet/Owi dikalungan medali emas. Bersenyum sumringah nan suka cita. Owi terlihat melambai-lambai, sesekali ia gigit kepingan medali itu. Sedang Butet tak kalah ceria, tangannya dihentak-hentak, memegang bendera. Buliran air mata bahagia mengucur di pipi empuknya.
Ruangan itu bergema suka cita. Indonesia Raya mengalun merdu-menghentak. Merah Putih dinaikkan perlahan, seraya ia berkibar pada pasak. Sedikit lebih tinggi diatas bendera Malaysia juga Tiongkok.
Beberapa penonton tertangkap kamera dengan wajah berkaca-kaca, bahkan tak sedikit terisak-isak. Dari layar kaca kusaksikan medali emas pertama Indonesia di Olimpiade Rio de Janeiro 2016. Merinding terharu, luar biasa rasa nasionalismenya. Bahagia sekali bisa menyaksikan ini. Merdeka.
**
Butet/Owi berhasil merindingkan bulu kuduk, menguras air mata bahagia, menggugah rasa orang Indonesia di momentum yang paling tepat. Medali emas Butet/Owi tentu kado terindah di perayaan dirgahayu republik ini.
Tak peduli tua-muda, miskin-kaya, politisi busuk, koruptor pun dia pasti tergugah jiwa kebangsaannya atas pencapaian ini. Merasa lebih memiliki Negara ini.
Dahsyatnya, medali emas Butet/Owi membuai semangat nasionalisme berimbak-imbak pada kulminasi. Butet/Owi dipuja, seraya bangga, perasaan mencintai tanah air terwujudkan dimana-mana. Pokoknya, merdekalah kita.
Media-mediapun tak ketinggalan memompa perasaan rakyat dari sajian informatif-kreatifnya. Membuat terkungkung pada kebanggaan memiliki Negara ini. Rasa mencintai Indonesia. Berbangsa satu, bertanah air satu. Merdekalah kita atas perasaan ini.
Inilah fenomena nasionalisme. Fenomena seperti ini rumit. Sesekali hanya muncul lalu perlahan-lahan pergi. Fenomena yang mengisyaratkan perasaan memiliki tanah air. Hal ini umumnya sering terekspose ketika perayaan 17-an atau saat tim olahraga Indonesia bertanding, puncaknya ketika muncul sebagai pemenang. Yah, seperti ini.
**
Kemerdekaan lahir dari rasa nasionalisme. Memiliki beragam makna walau lebih sering dikaitkan dengan kesejahteraan, namun toh memang tetap rumit. Seenak orang mau ukur dari standar mana saja. Jikalau dari standar rasa, tentu Butet/Owi sudah mempersembahkan itu pada kita hari ini. Namun lain halnya dari standar perut, kemerdekaan kita masih seperti judul lagu penyanyi Anggun. Ya!, bayang-bayang ilusi.
Kemerdekaan memang lebih sering dihubungkan dengan kesejahteraan. Semarak kemerdekaan seperti ini menimpuk soal perut. Kemarin di perumahan tukang becak, kusaksikan pada sebuah ruang tamu, seorang ayah menyuapi anaknya yang kurus kerempeng dengan nasi bercampur mie instant. Jelas sekali kulihat mie instantnya sedikit, sebab jarak ruang tamu hanya hitungan jengkal dengan setapak jalan kumuh yang kulalui itu. Terlebih mata ini belum rabun. Kusaksikan girangnya anak yang disuapi itu, mengayun-ayunkan Dwi Warna, bendera merah putih.Sedih sekali.
Fenomena yang kulihat kemarin bukan ilustrasi. Itu puzzle fakta, yang memang mencerminkan kondisi hari ini. Bangsa ini masih tersenyum, merasa merdeka di agustus-an, merasakan nasionalisme meski berlapar-lapar. Meski sengkarutnya masalah kemiskinan menerpa. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia 28,01 juta atau 10,86% pada Maret 2016. Belum lagi soal ketimpangan sosial. Koefisien Gini naik pesat dalam 15 tahun, minoritas kaya tertawa diatas mayoritas miskin. Tak pelak dengan utang Indonesia yang membumbung-memiris. Pada April 2016 mencapai US$ 319 miliar atau Rp 4.210,80 triliun (estimasi kurs 13.200 per dolar AS). Yah, itu utang kita. Utangnya orang Indonesia, yang merasa merdeka dan bangkit nasionalismenya karena Owi/Butet.
Dalam situasi ketimpangan ini, rakyat masih merasa memiliki Negara ini. Merayakan ulang tahunnya dengan berbagai kreatifitas. Dari balap karung sampai panjat pinang. Masih merasa merdeka meski perutnya lapar, masih merasa merdeka meski dijajah-dicuri uangnya tiap hari, masih merasa merdeka ditengah badai politik pencitraan. Yah, merdekalah penipuan ini.
***
Makna merdeka untuk Indonesia memang rumit, tak ada ukuran yang memuaskan kita. Dalam UUD 1945 dapat juga dimaknai, kemerdekaan adalah pintu gerbang menuju cita-cita kebangsaan dan keindonesiaan yang sejati. Dari sini, kita warga Indonesia dituntut menjadi orang yang mengabdi pada bangsa dan Negara. Minimal berdedikasi terhadap kepentingan umum, mendahulukan itu diatas kepentingan pribadi/golongan. Itulah nasionalisme. Untuk merdeka kita memang butuh nasionalisme.
Nasionalisme itu, mencintai tanah, air, juga orang-orangnya. Melakukan yang terbaik demi kemaslahatan orang banyak. Dari hal sepelepun itu. Jadi suatu hal yang lucu ketika kita masih mengaku nasionalis, padahal jarang masuk kantor, tidak memasang bendera merah-putih dihalaman, atau buang sampah sembarangan.
Yang lebih mirisnya lagi masih menangis ketika menonton Owi/Butet, padahal masih suka curi uang Negara. Tergugah nasionalismenya kalau nonton begituan, tapi tidak bayar tiket kalau naik kapal, suka mark-up dana kegiatan, atau masih banyak lagi. Hehe.. silahkan tambahkan sendiri.
Butet/Owi adalah contoh. Mereka professional juga nasionalis. Mereka mencintai negeri ini. Mengorbankan banyak waktu meninggalkan keluarganya, dan menguras energi untuk berlatih. Hingga akhirnya sukses mengisi kemerdekaan dengan prestasi-prestasi yang membanggakan. Inilah contoh nasionalisme, inilah pengisi kemerdekaan yang keren.Patut dicontoh.
Diluar itu, masih banyak lagi atlet berprestasi kita yang sukses mengisi kemerdekaan bangsa ini dengan torehan prestasi. Dibidang akademik, puluhan anak mengisi kemerdekaan dengan kecerdasannya yang menggugah dunia.Itulah nasionalisme mereka. Itulah cara mereka mengisi kemerdekaan.
Cara mengisi kemerdekaan memang kurang lebih seperti itu. Nasionalisme kita terukur pada dedikasi pada kepentingan umum dengan professional. Tak bayar pajak saja sebenarnya mencerminkan jiwa ketidak-nasionalisme. Apalagi korupsi.
Nah, kamu bagaimana?
Wallahu a’lam bishowab
Penulis : Planktoon La Ode
Pemainnya bersemangat. Pasangan ganda campuran Indonesia, Liliyana/Tontowi alias Butet/Owi menggeliat bercucuran keringat. Di bidang lawan, pasangan Malaysia, Chan Peng Soon/Goh Liu Ying tak kalah liar. Begitu sengit mempertahankan lapangan permainannya dari daratan bulu angsa.
Di game pertama, Butet/Owi unggul cepat. Cegatan Butet di depan net serta smash dari Tontowi ampuh mendulang banyak poin. Hasilnya, unggul 11-4 saat interval, sebelum mengakhiri game 21-14. Game Point.

Game kedua awalnya berlangsung lebih ketat. Pasangan Malaysia memberi perlawanan sengit pada awalnya namun bak sepanas tahi ayam. Setelah interval, Owi/Butet mampu melaju dan merebut game kedua, 21-12. Match point, Indonesia menang 21-14, 21-12.
Butet/Owi dikalungan medali emas. Bersenyum sumringah nan suka cita. Owi terlihat melambai-lambai, sesekali ia gigit kepingan medali itu. Sedang Butet tak kalah ceria, tangannya dihentak-hentak, memegang bendera. Buliran air mata bahagia mengucur di pipi empuknya.
Ruangan itu bergema suka cita. Indonesia Raya mengalun merdu-menghentak. Merah Putih dinaikkan perlahan, seraya ia berkibar pada pasak. Sedikit lebih tinggi diatas bendera Malaysia juga Tiongkok.
Beberapa penonton tertangkap kamera dengan wajah berkaca-kaca, bahkan tak sedikit terisak-isak. Dari layar kaca kusaksikan medali emas pertama Indonesia di Olimpiade Rio de Janeiro 2016. Merinding terharu, luar biasa rasa nasionalismenya. Bahagia sekali bisa menyaksikan ini. Merdeka.
**
Butet/Owi berhasil merindingkan bulu kuduk, menguras air mata bahagia, menggugah rasa orang Indonesia di momentum yang paling tepat. Medali emas Butet/Owi tentu kado terindah di perayaan dirgahayu republik ini.
Tak peduli tua-muda, miskin-kaya, politisi busuk, koruptor pun dia pasti tergugah jiwa kebangsaannya atas pencapaian ini. Merasa lebih memiliki Negara ini.
Dahsyatnya, medali emas Butet/Owi membuai semangat nasionalisme berimbak-imbak pada kulminasi. Butet/Owi dipuja, seraya bangga, perasaan mencintai tanah air terwujudkan dimana-mana. Pokoknya, merdekalah kita.
Media-mediapun tak ketinggalan memompa perasaan rakyat dari sajian informatif-kreatifnya. Membuat terkungkung pada kebanggaan memiliki Negara ini. Rasa mencintai Indonesia. Berbangsa satu, bertanah air satu. Merdekalah kita atas perasaan ini.
Inilah fenomena nasionalisme. Fenomena seperti ini rumit. Sesekali hanya muncul lalu perlahan-lahan pergi. Fenomena yang mengisyaratkan perasaan memiliki tanah air. Hal ini umumnya sering terekspose ketika perayaan 17-an atau saat tim olahraga Indonesia bertanding, puncaknya ketika muncul sebagai pemenang. Yah, seperti ini.
**
Kemerdekaan lahir dari rasa nasionalisme. Memiliki beragam makna walau lebih sering dikaitkan dengan kesejahteraan, namun toh memang tetap rumit. Seenak orang mau ukur dari standar mana saja. Jikalau dari standar rasa, tentu Butet/Owi sudah mempersembahkan itu pada kita hari ini. Namun lain halnya dari standar perut, kemerdekaan kita masih seperti judul lagu penyanyi Anggun. Ya!, bayang-bayang ilusi.
Kemerdekaan memang lebih sering dihubungkan dengan kesejahteraan. Semarak kemerdekaan seperti ini menimpuk soal perut. Kemarin di perumahan tukang becak, kusaksikan pada sebuah ruang tamu, seorang ayah menyuapi anaknya yang kurus kerempeng dengan nasi bercampur mie instant. Jelas sekali kulihat mie instantnya sedikit, sebab jarak ruang tamu hanya hitungan jengkal dengan setapak jalan kumuh yang kulalui itu. Terlebih mata ini belum rabun. Kusaksikan girangnya anak yang disuapi itu, mengayun-ayunkan Dwi Warna, bendera merah putih.Sedih sekali.
Fenomena yang kulihat kemarin bukan ilustrasi. Itu puzzle fakta, yang memang mencerminkan kondisi hari ini. Bangsa ini masih tersenyum, merasa merdeka di agustus-an, merasakan nasionalisme meski berlapar-lapar. Meski sengkarutnya masalah kemiskinan menerpa. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin Indonesia 28,01 juta atau 10,86% pada Maret 2016. Belum lagi soal ketimpangan sosial. Koefisien Gini naik pesat dalam 15 tahun, minoritas kaya tertawa diatas mayoritas miskin. Tak pelak dengan utang Indonesia yang membumbung-memiris. Pada April 2016 mencapai US$ 319 miliar atau Rp 4.210,80 triliun (estimasi kurs 13.200 per dolar AS). Yah, itu utang kita. Utangnya orang Indonesia, yang merasa merdeka dan bangkit nasionalismenya karena Owi/Butet.
Dalam situasi ketimpangan ini, rakyat masih merasa memiliki Negara ini. Merayakan ulang tahunnya dengan berbagai kreatifitas. Dari balap karung sampai panjat pinang. Masih merasa merdeka meski perutnya lapar, masih merasa merdeka meski dijajah-dicuri uangnya tiap hari, masih merasa merdeka ditengah badai politik pencitraan. Yah, merdekalah penipuan ini.
***
Makna merdeka untuk Indonesia memang rumit, tak ada ukuran yang memuaskan kita. Dalam UUD 1945 dapat juga dimaknai, kemerdekaan adalah pintu gerbang menuju cita-cita kebangsaan dan keindonesiaan yang sejati. Dari sini, kita warga Indonesia dituntut menjadi orang yang mengabdi pada bangsa dan Negara. Minimal berdedikasi terhadap kepentingan umum, mendahulukan itu diatas kepentingan pribadi/golongan. Itulah nasionalisme. Untuk merdeka kita memang butuh nasionalisme.
Nasionalisme itu, mencintai tanah, air, juga orang-orangnya. Melakukan yang terbaik demi kemaslahatan orang banyak. Dari hal sepelepun itu. Jadi suatu hal yang lucu ketika kita masih mengaku nasionalis, padahal jarang masuk kantor, tidak memasang bendera merah-putih dihalaman, atau buang sampah sembarangan.
Yang lebih mirisnya lagi masih menangis ketika menonton Owi/Butet, padahal masih suka curi uang Negara. Tergugah nasionalismenya kalau nonton begituan, tapi tidak bayar tiket kalau naik kapal, suka mark-up dana kegiatan, atau masih banyak lagi. Hehe.. silahkan tambahkan sendiri.
Butet/Owi adalah contoh. Mereka professional juga nasionalis. Mereka mencintai negeri ini. Mengorbankan banyak waktu meninggalkan keluarganya, dan menguras energi untuk berlatih. Hingga akhirnya sukses mengisi kemerdekaan dengan prestasi-prestasi yang membanggakan. Inilah contoh nasionalisme, inilah pengisi kemerdekaan yang keren.Patut dicontoh.
Diluar itu, masih banyak lagi atlet berprestasi kita yang sukses mengisi kemerdekaan bangsa ini dengan torehan prestasi. Dibidang akademik, puluhan anak mengisi kemerdekaan dengan kecerdasannya yang menggugah dunia.Itulah nasionalisme mereka. Itulah cara mereka mengisi kemerdekaan.
Cara mengisi kemerdekaan memang kurang lebih seperti itu. Nasionalisme kita terukur pada dedikasi pada kepentingan umum dengan professional. Tak bayar pajak saja sebenarnya mencerminkan jiwa ketidak-nasionalisme. Apalagi korupsi.
Nah, kamu bagaimana?
Wallahu a’lam bishowab
Penulis : Planktoon La Ode
0 komentar:
Post a Comment
ANOATIMESCOM™