
KPK menetapkan Nur Alam sebagai tersangka pada 23 Agustus 2016 lantaran politikus Partai Amanat Nasional itu diduga menerima imbal balik atas penerbitan sejumlah izin pertambangan untuk PT Anugrah Harisma Barakah, perusahaan penggarap nikel di Kabupaten Buton dan Bombana, Sulawesi Tenggara.
KPK menduga Nur Alam melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi Juncto Pasal 55 ayat 1 kesatu KUHP. Pasal-pasal itu mengatur perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi secara bersama-sama.
Konsesi yang diberikan Nur Alam, disebut Maqdir, pernah digugat oleh PT Prima Nusa Sentosa ke Pengadilan Tata Usaha Negara. Gugatan itu berlanjut hingga kasasi, dan menurut dia, Mahkamah Agung memutuskan bahwa konsesi itu “clear”.
Maqdir juga menuding KPK belum memiliki angka kerugian keuangan negara dalam kasus Nur Alam. “Padahal kerugian keuangan negara adalah elemen pokok yang disangkakan ke Nur Alam,” ujar dia.
Menurut Maqdir, pengusutan yang dilakukan KPK menabrak Kejaksaan Agung yang sedang menyelidiki perkara Nur Alam. Berdasarkan nota kesepahaman KPK dengan Kepolisian dan Kejaksaan Agung, tidak boleh ada penyelidikan atas objek yang sama.
Nur Alam pernah dipanggil KPK untuk dimintai keterangan pada 15 Maret 2016, namun tidak hadir. Sepekan kemudian, surat pemanggilan yang sama diterima Nur Alam. Maqdir mempersoalkan isi surat tersebut. “Isinya bernada ancaman karena tercantum ‘Apabila tidak hadir lagi, KPK tetap akan melanjutkan penyelidikan tanpa keterangan saudara,'” ujar Maqdir.
Maqdir mengatakan penyidik KPK Novel Baswedan, penyelidik KPK Harun Al Rasyid, dan Direktur Penyelidikan KPK Herry Mulyanto, bukan polisi aktif. “Dengan begitu, mereka tidak sah menjadi penegak hukum, ini diatur di UU KPK,” katanya.
BACA SUMBER : https://nasional.tempo.co/read/news/2016/09/16/063804889/gubernur-nur-alam-gugat-kpk-lewat-praperadilan
0 komentar:
Post a Comment
ANOATIMESCOM™